IHWAL PEREMPUAN DALAM STIGMA

  • 02:59 WITA
  • Admin PMH
  • Artikel

IHWAL PEREMPUAN DALAM STIGMA

Penulis

Firmansyah, M.H.

Dosen UIN Alauddin

Indonesia merupakan negara yang indentik dengan kemajemukannya, salah satunya dalam beragama. Hal itu telihat bagaimana Indonesia mengakui enam agama yakni Islam, Hindu, Buddha, Katolik, Protestan, dan Konghucu. legitimasi undang-undang turut memperjelas hal tersebut sebagaimana termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Agama menjadi kompas, rujukan dan rambu-rambu dalam arus lalu lintas duniawi, tak  terkecuali dalam hal perkawinan. Perkawinan sendiri merupakan institusi yang sangat fundamental dalam masyarakat. Agama Islam melalui sunnah Nabi menegaskan bahwa perkawinan merupakan sunnah dari Nabi Muhammad SAW dan dituntut untuk mengikutinya.

Menyoal tentang perkawinan, maka perempuan merupakan salah satu variabel yang selalu menjadi momok pembicaraan, dari sebelum menikah, akan menikah dan setelah menikah. Disetiap fase ada saja polemik yang selalu menjadi pembahasan, baik itu di ruang privat sampai kepada ke ruang publik. Dalam tulisan ini penulis tertarik untuk membahas atau paling tidak memberikan pandangan yang mungkin agak normatif, namun menurut penulis hal ini penting untuk diketahui agar stigma kepada perempuan tidak terus-terusan menggrogoti ruang gerak mereka.

Menelisik Makna Perkawinan Dalam Hukum Positif

Pemahaman terkait perkawinan perlu direfleksikan kembali, mengingat spekulasi dan asumsi pribadi terhadap pengertian perkawinan membuat masyarakat merasa ambigu, sehingga yang terjadi adalah mudah menyimpulkan sesuatu namun rapuh dalam informasi, referensi dan argumentasi.

Perlu dipahami bahwa  pemaknaan sehubungan dengan konsep perkawinan yang  terdapat dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan konsep perkawinan dalam Undang-Udang No 1 Tahun 1974 jo Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang perkawinan memiliki perbedaan. secara eksplisit dalam KUHPer sama sekali tidak memberikan pengertian ataupun definisi secara baku, namun  pemaknaan tentang perkawinan dapat ditemukan dalam Pasal 26 KUHPer yang mendalilkan bahwa “undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”, sehingga dapat diartikan bahwa KUHPer memandang perkawinan sebatas hubungan keperdataan.

Beda halnya jika merujuk dalam UU perkawinan yang diatur dalam Pasal 1, secara  gamblang memberikan pengertian bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami isteri bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan pemaknaan perkawinan yang termaktub di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni Pasal 2 bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa pemaknaan perkawinan menurut KUHPer hanyalah sebatas “hubungan atau perikatan perdata” , sedangkan UU perkawinan menekankan bahwa perkawinan tidak saja sebagai bentuk perikatan keperdataan tetapi perikatan atau hubungan keagamaan juga menjadi bagian yang mendasar. Sementara KHI sendiri lebih kepada penguatan nilai ibadah kepada Allah SWT.

Perempuan Dalam Stigma

Perempuan yang selalu menjadi sasaran empuk jika dikaitkan dengan fenomena perkawinan yang tidak mendapatkan restu dari orang tua. Penulis meyakini bahwa hal ini tidak saja terjadi pada sosok publik figur yang baru saja melangsungkan penikahan yakni arie kriting dengan indah permatasari, sampai-sampai kebahagiaan mereka terusik hanya karena masyakat memandang bahwa perkawinan tersebut bermasalah karena tidak mendapatkan restu dari orang tua si perempuan.

Sebenarnya masalah ini adalah persoalan klasik, hanya saja karena perkawinan merupakan ranah privat dan bukan publik figur sehingga kurang mendapatkan perhatian, namun menjadi gunjingan yang menarik di komplek rumah apalagi lingkup kerabat dan keluarga.

Perempuan adalah sosok yang paling dirugikan dalam hal ini, bagaimana tidak, perkawinan yang tidak mendapatkan restu akan berdampak terhadap stigma yang dilekatkan kepada si perempuan, misalnya, dianggap sebagai anak yang tidak berbakti kepada orang tua, anak durhaka, sampai kepada perkawinan yang jauh dari kebahagiaan. Penulis mengganggap, tidak seharusnya stigma itu terbangun tanpa memahami lebih dalam pokok masalahnya.

Pemahaman terkait perkawinan yang tidak mendapatkan restu menjadi penting untuk diketahui, demi menghindari asumsi dan argumen yang tidak berdasar. Masyarakat harus dipahamkan dengan persoalan-persoalan yang seringkali terjadi apalagi berada di ranah privat yang melibatkan banyak pihak.

Undang-Undang Merestui

Perlu diketahui hal yang paling fundamental jika ingin melaksanakan perkawinan adalah persetujuan kedua belah pihak antara laki-laki dan perempuan, berdasarkan kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan dalam pasal 28 bahwa ”asas perkawinan menghendaki adanya persetujuan bebas dari calon suami dan calon isteri”, begitu juga yang di dalilkan dalam Undang-Undang perkawinan bahwa syarat perkawinan terbagi menjadi dua, pertama adalah “adanya persetujuan dari kedua belah pihak, yaitu mempelai pria dan mempelai wanita, syarat kedua “adanya izin dari pihak-pihak tertentu untuk melangsungkan perkawinan bagi yang belum mencapai usia 21 tahun”. Sedangakan Kompilasi Hukum Islam menyebutkan terdapat empat persyaratan sahnya perkawinan sesuai Pasal 14, antara lain, ijab qabul, calon pria dan perempuan, wali, dan saksi.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipastikan bahwa perkawinan sejatinya adalah persetujuan dari kedua calon  baik laki-laki maupun perempuan, tanpa adannya paksaan dan intimidasi yang membuat calon perempuan terpaksa untuk menikah. Kedua, perempuan yang telah berumur 21 tahun dianggap telah dewasa, maka dari itu si perempuan dapat menikah tanpa persetujuan atau restu orang tuanya. Sedangkan bagi yang beragama Islam , dalam KHI tidak menyebutkan bahwa syarat sahnya perkawinan adalah restu orang tua, yang disebutkan hanyalah wali, baik wali nasab atau wali hakim.

Oleh sebab itu keabsahan suatu perkawinan tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan restu orang tua, hanya saja sejatinya perkawinan tidak hanya menyatukan dua insan namun keluarga menjadi bagian dalam hal ini, sepatutnya untuk mendapatkan restu dari orang tua dan sebaliknya orang tua harus lebih bijak dalam menyikapi persoalan perkawinan anaknya.