IHWAL PEREMPUAN DALAM STIGMA
Penulis
Firmansyah, M.H.
Dosen UIN Alauddin
Indonesia
merupakan negara yang indentik dengan kemajemukannya, salah satunya dalam
beragama. Hal itu telihat bagaimana Indonesia mengakui enam agama yakni Islam,
Hindu, Buddha, Katolik, Protestan, dan Konghucu. legitimasi undang-undang turut
memperjelas hal tersebut sebagaimana termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Agama menjadi
kompas, rujukan dan rambu-rambu dalam arus lalu lintas duniawi, tak terkecuali dalam hal perkawinan. Perkawinan
sendiri merupakan institusi yang sangat fundamental dalam masyarakat. Agama Islam
melalui sunnah Nabi menegaskan bahwa perkawinan merupakan sunnah dari Nabi
Muhammad SAW dan dituntut untuk mengikutinya.
Menyoal tentang
perkawinan, maka perempuan merupakan salah satu variabel yang selalu menjadi
momok pembicaraan, dari sebelum menikah, akan menikah dan setelah menikah.
Disetiap fase ada saja polemik yang selalu menjadi pembahasan, baik itu di
ruang privat sampai kepada ke ruang publik. Dalam tulisan ini penulis tertarik
untuk membahas atau paling tidak memberikan pandangan yang mungkin agak
normatif, namun menurut penulis hal ini penting untuk diketahui agar stigma kepada
perempuan tidak terus-terusan menggrogoti ruang gerak mereka.
Menelisik Makna Perkawinan Dalam Hukum Positif
Pemahaman terkait
perkawinan perlu direfleksikan kembali, mengingat spekulasi dan asumsi pribadi
terhadap pengertian perkawinan membuat masyarakat merasa ambigu, sehingga yang
terjadi adalah mudah menyimpulkan sesuatu namun rapuh dalam informasi,
referensi dan argumentasi.
Perlu dipahami
bahwa pemaknaan sehubungan dengan konsep
perkawinan yang terdapat dalam kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dengan konsep perkawinan dalam Undang-Udang No 1 Tahun 1974 jo Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang
perkawinan memiliki perbedaan. secara eksplisit dalam KUHPer sama sekali tidak
memberikan pengertian ataupun definisi secara baku, namun pemaknaan tentang perkawinan dapat ditemukan
dalam Pasal 26 KUHPer yang mendalilkan bahwa “undang-undang memandang soal
perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”, sehingga dapat diartikan
bahwa KUHPer memandang perkawinan sebatas hubungan keperdataan.
Beda halnya
jika merujuk dalam UU perkawinan yang diatur dalam Pasal 1, secara gamblang memberikan pengertian bahwa
perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami
isteri bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan pemaknaan perkawinan yang termaktub di dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni Pasal 2 bahwa perkawinan adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Dengan demikian,
penulis dapat menyimpulkan bahwa pemaknaan perkawinan menurut KUHPer hanyalah
sebatas “hubungan atau perikatan perdata” , sedangkan UU perkawinan menekankan
bahwa perkawinan tidak saja sebagai bentuk perikatan keperdataan tetapi
perikatan atau hubungan keagamaan juga menjadi bagian yang mendasar. Sementara
KHI sendiri lebih kepada penguatan nilai ibadah kepada Allah SWT.
Perempuan Dalam Stigma
Perempuan yang
selalu menjadi sasaran empuk jika dikaitkan dengan fenomena perkawinan yang
tidak mendapatkan restu dari orang tua. Penulis meyakini bahwa hal ini tidak
saja terjadi pada sosok publik figur yang baru saja melangsungkan penikahan yakni
arie kriting dengan indah permatasari, sampai-sampai kebahagiaan mereka terusik
hanya karena masyakat memandang bahwa perkawinan tersebut bermasalah karena
tidak mendapatkan restu dari orang tua si perempuan.
Sebenarnya
masalah ini adalah persoalan klasik, hanya saja karena perkawinan merupakan
ranah privat dan bukan publik figur sehingga kurang mendapatkan perhatian,
namun menjadi gunjingan yang menarik di komplek rumah apalagi lingkup kerabat
dan keluarga.
Perempuan
adalah sosok yang paling dirugikan dalam hal ini, bagaimana tidak, perkawinan yang
tidak mendapatkan restu akan berdampak terhadap stigma yang dilekatkan kepada
si perempuan, misalnya, dianggap sebagai anak yang tidak berbakti kepada orang
tua, anak durhaka, sampai kepada perkawinan yang jauh dari kebahagiaan. Penulis
mengganggap, tidak seharusnya stigma itu terbangun tanpa memahami lebih dalam
pokok masalahnya.
Pemahaman
terkait perkawinan yang tidak mendapatkan restu menjadi penting untuk diketahui,
demi menghindari asumsi dan argumen yang tidak berdasar. Masyarakat harus
dipahamkan dengan persoalan-persoalan yang seringkali terjadi apalagi berada di
ranah privat yang melibatkan banyak pihak.
Undang-Undang Merestui
Perlu diketahui hal yang paling fundamental
jika ingin melaksanakan perkawinan adalah persetujuan kedua belah pihak antara
laki-laki dan perempuan, berdasarkan kitab Undang-Undang Hukum Perdata
disebutkan dalam pasal 28 bahwa ”asas perkawinan menghendaki adanya persetujuan
bebas dari calon suami dan calon isteri”, begitu juga yang di dalilkan dalam Undang-Undang
perkawinan bahwa syarat perkawinan terbagi menjadi dua, pertama adalah “adanya
persetujuan dari kedua belah pihak, yaitu mempelai pria dan mempelai wanita,
syarat kedua “adanya izin dari pihak-pihak tertentu untuk melangsungkan
perkawinan bagi yang belum mencapai usia 21 tahun”. Sedangakan Kompilasi Hukum
Islam menyebutkan terdapat empat persyaratan sahnya perkawinan sesuai Pasal 14,
antara lain, ijab qabul, calon pria dan perempuan, wali, dan saksi.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipastikan
bahwa perkawinan sejatinya adalah persetujuan dari kedua calon baik laki-laki maupun perempuan, tanpa
adannya paksaan dan intimidasi yang membuat calon perempuan terpaksa untuk
menikah. Kedua, perempuan yang telah berumur 21 tahun dianggap telah dewasa,
maka dari itu si perempuan dapat menikah tanpa persetujuan atau restu orang
tuanya. Sedangkan bagi yang beragama Islam , dalam KHI tidak menyebutkan bahwa
syarat sahnya perkawinan adalah restu orang tua, yang disebutkan hanyalah wali,
baik wali nasab atau wali hakim.
Oleh sebab itu keabsahan suatu perkawinan
tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan restu orang tua, hanya saja
sejatinya perkawinan tidak hanya menyatukan dua insan namun keluarga menjadi
bagian dalam hal ini, sepatutnya untuk mendapatkan restu dari orang tua dan
sebaliknya orang tua harus lebih bijak dalam menyikapi persoalan perkawinan
anaknya.